S T A T I S I K

Selasa, Mei 31, 2011

Hari Lahir Pancasila


Pancasila Sebagai Pemersatu Bangsa

Berbagai kebijakan hukum di era reformasi pasca amandemen UUD 1945 belum mampu mengimplementasikan nilai-nilai fundamental dari Pancasila dan UUD 1945 yang menumbuhkan rasa kepercayaan yang tinggi terhadap hukum sebagai pencerminan adanya kesetaraan dan pelindungan hukum terhadap berbagai perbedaan pandangan, suku, agama, keyakinan, ras dan budaya yang disertai kualitas kejujuran yang tinggi, saling menghargai, saling menghormati, non diskriminatif dan persamaan di hadapan hukum. Padahal sebagai negara yang mendasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum. Selama ini terdapat berbagai macam ketentuan yang berkaitan dengan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan termasuk teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
Dilihat dari tanggung jawab generasi, pengamalan Pancasila dalam era tinggal landas nanti pada dasarnya adalah tanggung jawab Generasi Penerus. Bahkan dalam sejarah perkembangannya Pancasila sendiri ingin menggantikan Pancasila dengan Peraturan hukum yang lain dan sering kali diwarnai konflik sosial politik baik dalam aras horizontal maupun vertikal, dengan latar belakang yang cukup beragamseperti SARA.
Hal ini terjadi dalam peristiwa pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 dan peristiwa G 30. Bahkan ketika era reformasi tiba meruntuhkan Orde Baru, Pancasila pun ikut terdorong ke belakang. Pancasila dianggap tidak bisa lagi dipergunakan di dalam mengelola negara dan bangsa. Bahkan untuk menyebutkannya saja orang menjadi segan termasuk pejabat-pejabat pemerintah. Tetapi pada masa orde baru Pancasila diproklamasikan sebagai asas tunggal.
Bahkan Akhir-akhir ini muncul isu yang mengkhawatirkan, yakni adanya orang-orang yang ingin mengganti Pancasila. Ada juga perbincangan untuk membela Pancasila. Semua itu menandakan adanya kesadaran akan pentingnya Pancasila di negara Indonesia untuk dilestarikan.
Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah dijabarkan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai sumber dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia. Pancasila mengandung nilai dasar yang bersifat tetap, tetapi juga mampu berkembang secara dinamis. Dengan perkataan lain, Pancasila menjadi dasar yang statis, tetapi juga menjadi bintang tuntunan (lightstar) dinamis. Dalam kapasitasnya Pancasila merupakan cita-cita bangsa yang merupakan ikrar segenap bangsa Indonesia dalam upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil maupun spirituil.
Sebagai salah satu peranannya yang merupakan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia, sudah seharusnya Pancasila menjadi tolak ukur untuk menentukan pembentukan landasan-landasan hukum lain seperti misalnya Undang-Undang.
Tetapi untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik, diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik, penyusunan maupun pemberlakuannya.
Indonesia sebagai negara yang mendasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum yang berlaku di Indonesia.
Selama ini terdapat berbagai macam ketentuan yang berkaitan dengan Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan termasuk teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan, diatur secara tumpang tindih baik peraturan yang berasal dari masa kolonial maupun yang dibuat setelah Indonesia merdeka, yaitu:
1. Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie, yang disingkat AB (Stb. 1847: 23) yang mengatur ketentuan-ketentuan umum peraturan perundang-undangan. Sepanjang mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan AB tersebut tidak lagi berlaku secara utuh karena telah diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang dari Negara Bagian Republik Indonesia Yogyakarta.
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal dan Peraturan Pemerintah sebagai Undang-Undang Federal.
4. Selain Undang-Undang tersebut, terdapat pula ketentuan:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pengumuman dan Mulai Berlakunya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah;
b. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 234 Tahun 1960 tentang Pengembalian Seksi Pengundangan Lembaran Negara, dari Departemen Kehakiman ke Sekretariat Negara;
c. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia;
d. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang;
e. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden.
5. Di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah, berlaku peraturan tata tertib yang mengatur antara lain mengenai tata cara pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah serta pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang-undang dan peraturan daerah usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat atau dewan perwakilan rakyat daerah.
Nilai-nilai luhur yang tercantum dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang diharapkan mampu mewarnai perbuatan manusia Indonesia baik dalam melaksanakan secara objektif dalam penyelenggaraan negara maupun dalam kehidupan sehari-hari sebagai individu.
Ada faktor kesinambungan yang sangat mendasar yang kita anggap luhur dan menyatukan kita sebagai bangsa. Faktor kesi¬nambungan yang mendasar itu ialah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Intisari dari faktor kesinambungan yang sangat men¬dasar inilah yang tidak boleh berubah. Yang kita lakukan adalah melaksanakan dan mengamalkannya secara kreatif dalam menja¬wab tantangan-tantangan baru yang terus menerus muncul dalam perkembangan masyarakat kita dan masyarakat dunia yang sangat dinamis.
Dalam peralihan dari masyarakat terjajah menjadi masyara¬kat nasional, Pancasila telah menjalankan fungsinya yang sangat penting. Tanpa Pancasila, masyarakat nasional kita tidak akan pernah mencapai kekukuhan seperti yang kita miliki sekarang ini. Hal ini akan lebih kita sadari jika kita mengadakan perban¬dingan dengan keadaan masyarakat nasional di banyak negara, yang mencapai kemerdekaannya hampir bersamaan waktu dengan kita.
Selain itu , Pancasila telah menjadi obyek aneka kajian filsafat, antara lain temuan Notonagoro dalam kajian filsafat hukum, bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Sekalipun nyata bobot dan latar belakang yang bersifat politis, Pancasila telah dinyatakan dalam GBHN 1983 sebagai "satu-satunya azas" dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Tercatat ada pula sejumlah naskah tentang Pancasila dalam perspektif suatu agama karena selain unsur-unsur lokal ("milik dan ciri khas bangsa Indonesia") diakui adanya unsur universal yang biasanya diklim ada dalam setiap agama.
Pancasila merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara. Suasana kebatinan itu di antaranya adalah cita-cita negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pancasila mengandung nilai-nilai dasar seperti tentang cita-cita, tujuan, dan nilai-nilai instrumental yang merupakan arahan kebijakan, strategi, sasaran yang dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman. Ada cita-cita untuk mewujudkan persatuan yang melindungi dan meliputi seluruh bangsa, mengatasi paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan, mewujudkan keadilan sosial, dan negara yang berkedaulatan rakyat.
Mengenai hal evidensi atau isyarat yang tak dapat diragukan mengenai Pancasila terdapat naskah Pembukaan UUD 1945 dan dalam kata "Bhinneka Tunggal Ika" dalam lambang negara Republik Indonesia. Dalam naskah Pembukaan UUD 1945 itu, Pancasila menjadi "defining characteristics" = pernyataan jatidiri bangsa = cita-cita atau tantangan yang ingin diwujudkan = hakekat berdalam dari bangsa Indonesia. Dalam jatidiri ada unsur kepribadian, unsur keunikan dan unsur identitas diri. Namun dengan menjadikan Pancasila jatidiri bangsa tidak dengan sendirinya jelas apakah nilai-nilai yang termuat di dalamnya sudah terumus jelas dan terpilah-pilah.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, selalu mengalami polemik-polemik dalam permasalahan hukum misalnya mengenai Perda-Perda dalam bulan-bulan terakhir ini. Dimulai dengan petisi yang disampaikan 56 anggota DPR yang meminta pemerintah mencabut perda-perda yang ditengarai bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Belum lagi petisi ini ditanggapi, telah ada lagi kontra-petisi dari 134 anggota DPR lainnya yang justru meminta supaya tidak dengan mudah mencabut perda-perda seperti itu.
Adanya perda-perda itu dilihat sebagai kebutuhan dari daerah yang menetapkannya. Bagi sebagian orang, keberadaan perda ini disambut gembira. Tetapi bagi yang lainnya, mencemaskan. Setidaknya di daerah-daerah yang penduduknya tidak terlalu lazim dengan hal-hal bernuansa Islam, seperti NTT, Sulawesi Utara, Papua, dan seterusnya. Bahkan, ada yang mengancam untuk melepaskan diri dari NKRI. . Tidak mudah memperoleh jawaban bagi sebuah negeri yang masyarakatnya sangat majemuk ditinjau dari berbagai segi: suku, agama, ras, etnis, dan golongan.
Munculnya berbagai peraturan daerah yang secara substansial bertumpang tindih dengan berbagai peraturan perundang-undangan dan sistim kodifikasi hukum publik nasional semakin menghambat penerapan sistim hukum nasional dan merusak instrument penegakan hukum dalam struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu, UU Otonomi Daerah ikut mendorong timbulnya perda-perda yang dinilai tidak selalu sejalan dengan Pancasila dan Konstitusi. Di beberapa daerah, perda-perda itu dinilai sebagai solusi menyelesaikan berbagai kemelut bangsa. Kendati penyusunan perda-perda itu terkesan praktis, yaitu untuk menjawab kepentingan-kepentingan tertentu di daerah, namun di belakangnya terkandung hal-hal yang bersifat ideologis.
Ketidakpastian, ikonsistensi, diskriminasi/tebang pilih dan kelambanan dalam penegakan hukum telah menimbulkan kondisi ketidakpercayaan terhadap hukum dan aparat hukum, terutama dengan dengan semakin marak dan terbukanya kegiatan dan atau tindakan melawan hukum yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum dengan mengatasnamakan suku, agama dan/atau daerah yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya kerugian, ketidak-nyamanan, keresahan dan hilangnya rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Selain itu, belum berjalannya reformasi sikap mental, perilaku dan rasa pengabdian di kalangan serta institusi penegak hukum menimbulkan kekuatiran yang mendalam akan semakin sulitnya mewujudkan supremasi hukum di Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan hukum.
Semakin berkembangnya egoisme, oportunisme dan primordialisme yang terefleksi dari berbagai kegiatan kelompok masyarakat, elit politik di berbagai daerah dan kebijakan publik berbagai pemerintah daerah semakin mengikis rasa kebangsaan dan mempersulit tumbuh kembangya sistim hukum nasional yang berbasis pada nilai-nilai kebhinekaan sebagai ciri utama dan kepribadian bangsa Indonesia.
Perkembangan-perkembangan yang telah diuraikan diatas tadi merupakan sebagian kecil masalah-masalah yang sering timbul dalam hal mempersoalkan hukum-hukum yang ingin ditegakkan di Indonesia. Apakah hal-hal yang bersifat ideolgis ataukah hal-hal yang bersifat konkret?
Kita harus sungguh-sungguh mengonkretkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk juga di dalam menghasilkan berbagai produk hukum. Pada waktu lalu Pancasila sudah dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Kalau benar-benar ingin merevitalisasikannya, kita harus konsisten melaksanakan prinsip ini. Indonesia adalah sebuah novum di dalam sejarah. Ia terdiri dari sekumpulan orang dengan derajat kemajemukan yang tinggi, namun ingin bersatu menyelesaikan berbagai persoalan bersama. Inilah keindonesiaan itu. Inilah yang mesti terus-menerus dibina. Keindonesiaan mesti tertanam di dalam hati sanubari setiap anak bangsa yang berbeda-beda ini sebagai miliknya sendiri. Hanya dengan demikianlah kita bisa maju terus ke depan. Pancasila seharusnya disikapi dengan arif dan kepala dingin, dengan berpikir dan bertindak agar Pancasila tetap sakti dan lestari sebagai falsafah, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan sebagai dasar dan ideologi negara. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan perjanjian luhur seluruh anak bangsa Indonesia yang sangat majemuk, dan menghormati serta menjamin hak dan martabat kemanusiaan.
3.1 Kesimpulan
Salah satu peranan Pancasila adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah dijabarkan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai sumber dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia.
Pancasila merupakan azas atau prinsip hukum yang merupakan sumber nilai dan sumber norma bagi pembentukan hukum derivatnya atau turunannya seperti undang-undang dasar, undang-undang, Perpu, Peraturan Pemerintah; Perda, dan seterusnya. Hal demikian ini dapat kita simak dari rumusan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menegaskan: “Pancasila merupakan sumber dari segala hukum”.
Pancasila mengandung nilai dasar yang bersifat tetap, tetapi juga mampu berkembang secara dinamis. Dengan kata lain, Pancasila menjadi dasar yang statis, tetapi juga menjadi bintang tuntunan (lightstar) dinamis.
Pancasila juga sebagai dasar dan ideologi negara, yaitu sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara. Selain itu Pancasila merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara.
Untuk menjaga agar Pancasila tetap terpelihara dan lestari, maka harus dilakukan peningkatan pemahaman pada semua lapisan masyarakat. Yang lebih penting lagi, para pemimpin harus menjadi teladan dalam pengamalan Pancasila. Pancasila akan menjadi ideologi yang kuat apabila diamalkan dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, menuju negara aman, damai, tentram, adil, makmur dan sejahtera dalam semua aspek kehidupan terutama dalam penegakan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.

Problema Kepemimpinan Kaum Muda


Problem Kepemimpinan (Politik) Kaum Muda;
Sebuah Refleksi 81 Tahun Hari Sumpah Pemuda

Oleh : Laikmen Sipayung
Ketua BPC GMKI Bandar Lampung


Dalam mengartikannya, pemuda Indonesia sering didefenisikan beragam. Defenisi yang satu dengan yang lainnya berbeda satu sama lain, termasuk dalam hal rentang usianya. Dalam kehidupan masyarakat agraris, pemuda sering dipandang dalam kedudukan rendah karena terdapat hierarki masyarakat yang menjadikan posisi orang tua menjadi lebih tinggi. Namun demikian, dalam perjalanan sejarah Indonesia, pemuda merupakan katalisator perubahan dan memiliki kemampuan dalam mengintegrasikan diri dengan isu orang dewasa, bahkan menjadi orang dewasa itu sendiri, dan bahkan pemuda mampu memainkan isu-isu orang dewasa dengan lebih unggul dan radikal.

Pemuda merupakan golongan masyarakat yang dekat dengan ide-ide baru, dekat dengan perubahan. Sebagai bagian dari perubahan politik nasional, pemuda Indonesia selalu menggunakan pendekatan-pendekatan kooperatif dan non kooperatif, atau radikal dan moderat, atau diplomasi dan kekuatan senjata/fisik. Pilihan cara atau sikap dalam keterlibatan pemuda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut merupakan cara pemuda mengekspresikan dirinya pada setiap zaman dengan dinamika kesejarahannya.

Tidak dapat dielakkan bahwa dalam setiap pertemuan pemuda atau pertemuan yang membicarakan pemuda, sering disebut momentum kesejarahan yang dimainkan oleh pemuda terkait perubahan, antara lain; Pertama, pergerakan pemuda 1908, pergerakan pemuda dalam konstruksi kedaerahan/kebudayaan. Kedua, pergerakan pemuda 1920-an, pergerakan pemuda dalam kelompok study hingga melahirkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Pergerakan pemuda dengan ide-ide cemerlang yang dapat membangkitkan dinamika politik bangsa hingga benar-benar memampukan mereka menyongsong dan meraih kemerdekaan. Ketiga, pergerakan pemuda 1945, pergerakan pemuda revolusioner dengan mengangkat senjata melawan kolonial bahkan sampai menimbulkan ketegangan-ketegangan dengan golongan tua. Namun ada juga perjuangan bersifat kooperatif seperti perjuangan diplomasi. Keempat, pergerakan pemuda 1966, pergerakan pemuda hingga dekade demokrasi terpimpin terlihat lebih bersifat kooperatif, terlibat dalam politik kekuasaan, namun demikian tetap masih ada pergerakan non kooperatif dalam bentuk demonstrasi-demonstrasi. Kelima, pergerakan pemuda 1998, pergerakan era reformasi hingga transisi demokrasi saat ini yang lahir pada saat akhir-akhir masa kepemimpinan orde baru yang ditandai dengan penggantian presiden Suharto kepada Presiden B.J. Habibie yang sebelumnya Wakil Presiden. Pergantian era tersebut pada satu sisi dilatarbelakangi oleh krisis pada banyak sektor kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dan pada sisi lain muncullah persoalan-persoalan politik kebangsaan yang lebih kompleks.

Pada setiap fase perubahan politik itu, terutama pada fase 1920-an dan 1940-an, pemuda tidak hanya sebagai pelopor, pemikir, serta secara fisik menjadi tentara rakyat dan berada dibarisan depan perjuangan kebangsaan, tetapi juga sebagai pemimpin nasional yang memiliki visi kebangsaan dan selalu menjadi penentu hampir semua keputusan politik pergerakan kebangsaan. Bahkan tidak hanya sampai pada momentum proklamasi pemuda memiliki posisi sentral sebagai pemimpin nasional, pasca proklamasi kemerdekaan, terutama pada masa-masa perundingan dengan pemerintahan Belanda posisi kepemimpinan nasional masih menjadi hal yang biasa bagi pemuda. Artinya, sampai pada masa itu pemuda masih memberikan peran penting bagi kepemimpinan nasional, dan tidak langka atau menjadi sebuah keanehan.

Permasalahannya kini, dan bahkan sudah menjadi masalah lama pemuda dari beberapa generasi terakhir, terutama yang berkaitan dengan kepemimpinan politik nasional adalah mengapa pemuda belum bisa bangkit dari keterpurukan posisi politiknya? Masalahnya bisa dilihat dari konteks internal dan eksternal pemuda. Adapun masalah konteks internal antara lain: satu, pemuda belum bisa secara bersama melakukan advokasi terhadap hak politik pemuda; dua, posisi ekonomi pemuda masih lemah. Padahal lingkungan politik kekuasaan kini telah menjadikan kemampuan ekonomi dan financial sebagai faktor dominan; tiga, kaderisasi politik pemuda oleh organisasi pemuda belum terpola mandiri. Sedangkan masalah konteks eksternal antara lain; satu, peran partai politik dalam melakukan kaderisasi politik cendering blum berkelanjutan dan sistematis; dua, pendidikan formal masih amburadul dan belum mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial yang begitu cepat; tiga, stigma di masyarakat dan negara bahwa pemuda adalah pemimpin masa depan; empat, akibat dari kebijakan politik orde baru seperti normalisasi kehidupan kampus, atau depolitisasi kampus 1978/1979.

Lalu, bagaimana solusinya? Secara umum, solusinya terhadap masalah konteks interen antara lain; kaderisasi politik pemuda oleh organisasi pemuda harus dilakukan secara lebih baik; pemuda harus secara bersama melakukan advokasi terhadap hak politik pemuda; melakukan pemberdayaan ekonomi pemuda. Sedangkan solusi terhadap masalah konteks eksternal, antara lain; peran partai politik dalam melakukan kaderisasi politik harus berkelanjutan dan sistematis; penguatan pada sistem pendidikan nasional; menghapus stigma di masyarakat dan negara bahwa pemuda adalah pemimpin masa depan; kampus harus dibebaskan dari depolitisasi mahasiswa Biarlah kampus dan mahasiswa menjadi dirinya sendiri dengan bertanggungjawab menentukan sikap politiknya secara lebih terbuka. Karena dengan demikian, disitulah terletak keadilan politik; bebas dan terbuka sebagai hak pada satu sisi, dan pada sisi lain tertib dan bertanggungjawab sebagai kewajiban.

Melalui proses refleksi 81 tahun Sumpah Pemuda ini, semoga pemuda Indonesia bangkit dan akan tetap hadir, bersikap, dan terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melahirkan ide-ide baru yang kreatif sebagai catatan sejarah baru yang merupakan solusi untuk persoalan bangsa ini. Semoga...

Senin, Mei 30, 2011

GMKI MENGGUGAT II


GMKI MENGGUGAT II
ANCAMAN PLURALISME DAN EKSISTENSI PANCASILA

I. PENDAHULUAN
Pancasila sebagai dasar negara telah disepakati sebelum Indonesia merdeka sepenuhnya. Tanpa bermaksud mengesampingkan teori – teori lain tentang sejarah lahirnya pancasila, namun Ir. Soekarno sebagai pendiri bangsa ini telah menjabarkan secara jelas dasar bernegara yaitu Pancasila sehingga momentum pidatonya tanggal 1 Juni 1945 kita sepakati sebegai hari lahir pancasila.
Dalam konsepnya tentang pancasila, Soekarno menegaskan bahwa prinsip pertama pendirian bangsa ini adalah kebangsaan. Kebangsaan yang dimaksudkan bukan kebangsaan dalam dimensi sempit yang dibatasi oleh sekat agama, suku, etnis dan sebagainya. Negara kebangsaan yang kita diami ini sesungguhnya adalah sebuah negara bangsa (nation state) diatas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Gagasan tersebut memberi kepastian kepada kita bahwa tidak ada kelompok tertentu di Nation state ini yang lebih tinggi dan atau menjadi subordinasi dari kelompok lainnya. dengan demikian semua agama, suku, kelompok masyarakat atau penduduk pulau mempunyai hak yang sama dalam negara Indonesia ini. Cita – cita luhur dalam pancasila tersebut secara ideal seharusnya menciptakan suasana yang aman, damai, tenteram, sejahtera dan penuh cinta kasih.
Ide dan gagasan awal pancasila juga sebenarnya memberi jaminan kenyamanan hubungan antar warga negara secara harmoni tanpa ada yang berhak untuk menindas kelompok lainnya. Negara bangsa Indonesia adalah satu negara yang ber-Tuhan, dan masing – masing orang indonesia menyembah Tuhannya sendiri. Yang kristen menyembah tuhan menurut perintah Alkitab yang dikenal dalam diri Yesus Kristus, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad S.A.W, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab – kitab yang ada padanya. Semuanya dijalankan dengan cara berkebudayaan dan berkeadaban, tiada egoisme agama dan saling hormat-menghormati satu sama lain. Itulah yang dimaksud oleh Soekarno sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Secara konseptual, Pancasila sesungguhnya adalah sebuah paradigma tentang realitas masyarakat multikutural Indonesia yang inklusif dan toleran, Pancasila merupakan arena ekspresi sosial dan budaya masyarakat yang demokratis sehingga Pancasila jangan lagi dijadikan sebagai alat kooptasi negara untuk kepentingan politik kekuasaan yang otoriter (seperti jaman orde baru). Dengan demikian secara teknis, Pancasila harus digunakan secara benar, konsisten dan ideologis dalam pembuatan dan pelaksanaan segala produk perundang-undangan dan aktivitas sosial lainnya.
Di era reformasi, pancasila berada pada kondisi geopolitik dunia yang memunculkan paham fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama. Oleh karena itu, masyarakat ekonomi perlu menumbuhkan kesadaran bahwa Pancasila merupakan landasan etis ekonomi, sehingga dalam melakukan aktifitas ekonomi dan bisnisnya masyarakat ekonomi selalu melihat keadilan sosial sebagai keadilan yang terdistribusi. Pada sisi lain, Masyarakat sosial (Civil Society) perlu menempatkan ideologi Pancasila sebagai common platfform dalam setiap aktivitasnya sehingga mampu membendung fundamentalisme agama yang muncul belakangan.
Realitas kehidupan berbangsa belakangan ini terusik dengan berkembangnya ideologi radikal bernuansa agama. Ideologi ini kemudian merusak tatanan kehidupan pluralisme di Indonesia sebagaimana diimpikan oleh Pancasila. Peristiwa – peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa negara turut serta secara sistemik merusak tatanan kehidupan harmoni pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Fakta – fakta sederhana yang bisa menjadi indikator dari tesis tersebut adalah:
1. Dalam penyerangan kelompok Ahmadiyah di Jawa Barat, pemerintah turut serta secara sistemik mengganggu kehidupan plural dengan SKB 3 Menterinya, peraturan gubernur serta operasi intelijen berkode sandi ”sajadah” yang berusaha memberangus secara sistemik, masif serta melanggar nilai – nilai luhur pancasila, pluralisme dan kebebasan warga negara untuk memeluk agama menurut kepercayaannya.
2. Pembakaran, pengrusakan, ancaman pengeboman serta intimidasi terhadap gereja dan warga gereja di berbagai daerah Indonesia juga membuktikan bahwa negara sedang mangkir dari tugasnya untuk melindungi segenap bangsa indonesia. Nilai kesetaraan berbangsa bernegara dalan nation state Indonesia seperti dicita – citakan oleh Soekarno tidak mampu dipertahankan oleh negara saat ini, sebab apapun alasannya, negara harus mampu mencegah tindakan – tindakan intoleran seperti itu.
3. Peraturan Bersama menteri Agama dan menteri dalam Negeri tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat ternyata dijadikan alat dan legitimasi oleh kelompok masyarakat tertentu untuk membenarkan tindakan anarkis, kekerasan dan vandalisme yang mereka lakukan dalam mengintimidasi kelompok masyarakat/agama lain. Tidak ada political will dan keseriusan pemerintah melakukan evaluasi terhadap peraturan tersebut padahal sudah banyak korban di lapangan akibat tindakan kekerasan atas nama agama bertameng Perber tersebut.
4. Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin di Bogor hingga saat ini harus beribadah di Trotoar. Padahal GKI Taman Yasmin telah memenuhi seluruh persyaratan administratif dan teknis untuk mendirikan gedung gereja. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi hukum positif di negara ini juga telah memutuskan bahwa GKI Taman berhak atas Izin Mendirikan bangunan gereja di Bogor. Ternyata walikota bogor menafikkan keputusan Mahkamah Agung Tersebut dan justru mencabut IMB GKI Taman Yasmin yang sudah dikeluarkan. Dalam kasus ini bukan sekedar penghianatan terhadap semangat pluralisme dan kebebasan beragama yang dilanggar oleh walikota Bogor tetapi juga pelanggaran hukum positif negara dengan tidak mengindahkan keputusan Mahkamah Agung. Praktek-praktek seperti ini harus ditentang oleh segenap warga negara termasuk di dalamnya GMKI.
5. Fenomena Negara Islam Indonesia (NII) dalam satu semester terakhir membuktikan bahwa negara (Pemerintah) tidak serius mengawal idoeologi pemersatu bangsa yaitu pancasila sehingga lahirlah gerakan – gerakan fundamental bernuansa agama termasuk di dalamnya NII.
6. Semangat Otonomi daerah yang kebablasan melahirkan perda – perda bernuansa syariat yang diskriminatif serta bertentangan dengan nilai – nilai pancasila. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mempunyai peran vital dalam melahirkan perda – perda tersebut. Celakanya, peran tersebut dimainkan secara terbuka.
7. Hilangnya mata pelajaran pancasila pada pendidikan formal akibat kebijakan negara melalui pemerintahnya secara langsung membuka peluang bagi tumbuh – suburnya paham/ideologi radikal sektarian bernuansa agama di Indonesia.
Menurut suvey Litbang Kompas yang dirilis pada tanggal 18 Mei 2011, hal – hal yang mendorong berkembangnya ideologi radikal bernuansa agama di Indonesia adalah: lemahnya penegakan hukum (28%), Rendahnya pendidikan dan lapangan kerja (25,2%), lemahnya pemahaman ideologi pancasila (14,6%), kurangnya dialog antar umat beragama (13%), kurangnya pemahaman agama (4,9%), ketidakpuasan pada pemerintah (2,3%), kesenjangan ekonomi (1,6%) dan sisanya mempunyai alasan lain. Dari hasil survey tersebut terlihat bahwa mayoritas penyembab berkembangnya ideologi radikal bernuansa agama karena kegagalan pemerintah dalam mengelola negara ini baik dari segi hukum, pendidikan, ekonomi maupun ideologi itu sendiri.
Berangkat dari fakta historis-empirik diatas, maka Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia secara tegas menyatakan menggugat negara yang tidak lagi konsisten mengawal pancasila sebagai ideologi bernegara. Inkonsistensi tersebut mengancam pluralisme, kebebasan dan kesetaraan kelompok masyarakat yang mendiami Indonesia.
Momentum hari lahir pancasila tanggal 1 Juni 2011 adalah momentum konsolidasi kembali gerakan mahasiswa untuk menginterupsi negara agar kembali ke nilai – nilai luhur pancasila dan menjamin semangat pluralisme dan kesetaraan secara adil di Indonesia.

II. TEMA/SUB TEMA
Tema: “Jadilah Berhikmat! Berjalanlah Pada Jalan Kebenaran, di Tengah – tengah Jalan Keadilan” (Band. Amsal 8: 1 – 20)
Sub Tema: “Mendorong Solidaritas Bangsa Untuk Memperjuangkan Kebenaran, Keadilan, dan Kesejahteraan dalam Mewujudkan Kemerdekaan Indonesia Secara Bermartabat”

III. TUNTUTAN
Dari dasar pemikiran dan fakta – fakta yang telah diuraikan, maka Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Indonesia yang tersebar di 75 Cabang dengan ini menuntut agar:
Pertama : Pemerintah mengembalikan pancasila sebagai ideologi negara secara benar dan elegan serta bermartabat sehingga pacasila benar – benar menjadi common flatform dan tidak justru menjadi alat kooptasi negara
Kedua : Pemerintah segera mempercepat reformasi kurikulum pendidikan pancasila dalam sistem pendidikan nasional sehingga seluruh komponen bangsa memahami secara merata tentang pancasila sebagai ideologi bernegara.
Ketiga : Pemerintah Mencabut Peraturan Bersama Menteri agama dan menteri Dalam negeri tentang pedoman pendirian rumah ibadah karena ternyata tidak sesuai dengan nilai – nilai luhur pancasila
Keempat : Pemerintah harus konsisten menjamin kebebasan umat beragama sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi negara
Kelima : Polisi dan penegak hukum lainnya Mengusut secara tuntas dan transparan setiap tindakan melawan hukum yang dilakukan oknum pemerintah dan atau kelompok masyarakat yang mengancam semangat pluralisme dan multikulturalisme Indonesia.
(Isu dan tuntutan di Daerah dapat dikombinasikan dengan pergumulan lokal seperti korupsi, pelanggaran HAM, ketidakadilan iklim dan isu lainnya di gereja, masyarakat dan perguruan tinggi yang sejalan dengan arahan tema/sub tema dengan tetap berkoordinasi dengan Pengurus Pusat)

IV. BENTUK AKSI
Bentuk aksi yang dilakukan adalah Aksi Damai pengerahan massa dengan mendatangi kantor gubernur/DPRD/Bupati sebagai simbol – simbol negara secara serentak di Indonesia. Aksi damai dapat diorganisasikan dan dilakukan bersama dengan kelompok Cipayung, LPMI, PERKANTAS, GAMKI, Pemuda Gereja, Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia atau aliansi strategis lainnya.

V. WAKTU PELAKSANAAN
Aksi damai ini dilaksanakan serentak di Indonesia pada tanggal 1 Juni 2011:
• Pukul 11.00 WIT
• Pukul 10.00 WITA
• Pukul 09.00 WIB

VI. PENUTUP
Demikian kerangka acuan Aksi nasional GMKI menggugat II ini kami sampaikan untuk dapat dijadikan pedoman secara seragam di seluruh cabang GMKI di Indonesia. Ut Omnes Unum Sint....


PENGURUS PUSAT
GERAKAN MAHASISWA KRISTEN INDONESIA
MASA BAKTI 201 – 2012



JHONY RAHMAT, S.Si
Ketua Umum
JOZTHIN M.E. THELIK, S.Sos
Sekretaris Umum

GMKI MENGGUGAT I

GMKI MENGGUGAT
PENEKAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN
Diakui atau tidak, dalam konteks keindonesiaan, peran negara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara memegang peranan penting. Pada era Orde Baru misalnya, cengkraman negara begitu kuat dalam masyarakat. Negara ikut campur dalam segala hal masalah ekonomi, politik dan sosial rakyat. Disatu sisi, memang negara mempunyai tanggung jawab (state responsibility) untuk mengendalikan dan memberdayakan rakyatnya agar tidak terjadi kesengsaraan dan penderitaan. Namun, di sisi lain, peran negara ini kadang disalahgunakan sebagai bentuk represifitas negara terhadap rakyatnya. Negara menerapkan aturan yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh rakyat, yang peraturan itu hanya menguntungkan sebagian kecil dari apa yang disebut sebagai “rakyat”.

Beberapa ahli mendefinisikan berbeda tentang negara. Roger H. Soltau menuliskan: “Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat (The state is an agency or authority managing or controling these (common) affairs on behalf of and in the name of the community). Harold J. Laski mengatakan: “Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu (The state is a society which is integrated by possessing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of thesociety).

Max Weber berujar: “Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (The state is a human society that (succesfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory). Robert M. MacIver menyatakan: “Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa (The state is an association which, acting through law as promulgated by a government endowed to this end with coercive power, maintains within a community territorially demarcated the external conditions of order).

Miriam Budiarjo menyimpulkan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warganya ketaatan pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaanyangsah.

Abraham Amos lebih menegaskan arti sebuah negara menjadi dua, negara dalam arti objektif dan negara dalam arti subjektif. Negara dalam arti objektif berarti segala sesuatu yang menyangkut ruang lingkup kedaulatan suatu kelompok komunitas masyarakat, dimana didalamnya terdapat strukutur kehidupan sosial atas kehendak organ masyarakat pada suatu wilayah tertentu; dengan tujuan menjalankan segala bentuk aktivitas hidupnya. Sedangkan negara dalam arti subjektif diartikan dengan adanya sekelompok komunitas manusia yang menghendaki suatu bentuk teritorial kedaulatan, yang kemudian dibentuk semacam konsensus atau kontrak sosial. Kontrak sosial itu tak lain ialah mufakat bersama dengan tujuan untuk membentuk wilayah kedaulatan sesuai kehendak komunitas dan memiliki seorang pimpinan komunitas sosial.

Negara bukan sekadar sekumpulan keluarga belaka atau suatu persatuan organisasi profesi, atau penengah di antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan antara perkumpulan suka rela yang diizinkan keberadaannya oleh negara. Dalam suatu komunitas politik yang diorganisir secara tepat, keberadaan negara adalah untuk masyarakat dan bukan masyarakat yang ada untuk negara. Pasalnya, keberadaan negara bermula dari perkembangan manusia (rakyat) yang kompleks dengan segala permasalahannya sehingga dibutuhkan adanya sebuah organisasi yang dilengkapi kekuasaan, disepakati bersama oleh rakyat tersebut, dan berfungsi menyelesaikan perselisihan untuk mengatur dan menciptakan ketentraman serta kedamaian dalam hubungan kemasyarakatan.

Logikanya, jika misalnya, keadaan rakyat dengan segala kompleks permasalahannya telah tentram dan damai maka rakyat tidak memerlukan adanya organisasi kekuasaan lagi. Dengan kata lain, bisa saja organisasi kekuasaan tersebut dibubarkan keberadaannya oleh rakyat. Akan tetapi, logika ini mungkin akan sangat sulit terealisasi karena kompleksitas permasalahan rakyat selalu ada seiring dengan berkembangnya kepentingan manusia. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa negara boleh menerapkan represifitas terhadap rakyat, karena hakekatnya keberadaan negara adalah untuk rakyat bukan rakyat yang ada untuk negara.
Keberadaan negara menjelma dalam sistem penyelenggaraan negara yang dijalankan oleh tiga lembaga kekuasaan negara. Yakni lembaga legislatif (sebagai pembuat undang-undang), lembaga eksekutif (yang menjalankan undang-undang) dan lembaga yudikatif (pengadil terhadap pelanggaran atas undang-undang). Lembaga-lembaga kekuasaan negara ini menjalankan fungsinya dengan prinsip demokrasi (penyelenggaraan negara dari, oleh, dan untuk rakyat).
Fundamentalisme dari Negara sendiri adalah, melindungi, memelihara, memeberikan rasa nyaman, berprikeadilan, dan memberikan kesejateraan bagi semua komunitas yang ada didalamnya tanpa harus memandang muka. Ini kiranya dapat menjadi catatan bagi kita untuk merujuk keberadaan kita sebagai bagian dari komunitas bangsa, yang juga memenuhi aspek satu nusa satu bangsa, serta bihneka tunggal yang merajai jiwa sebagai warga bangsa. Karena konteks bangsa kita hari ini seakan mereduksi eksistensi nilai pendirian bangsa dan Negara kita Negara kesatuan republic Indonesia. menjadi hal mendasar adalah bagaimana pemerintah sebagai penggerak untuk menjadikan sesuatu kedamain, kesejahteran, kemakmuran keadilan dapat mensiasati itu sehingga semua aspek kehidupan masyarakatnya dapat terpenuhi. artinya negara mempunyai peranan penting untuk menyuguhkan yang terbaik bagi warga negaranya.
Aspek lain yang dilihat adalah negara gagal untuk menjalankan tugas – tugas pokoknya yang terkandung dalam pembukaan undang – undang dasar 1945, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. kalaupun seperti ini bentuknya dimanakah akan kita cari keadilan itu? apakah kita akan bertindak sendiri – sendiri tanpa harus memberikan kewenangan kepada mereka yang punya kewenangan ? ataukah kita harus berjalan sendiri – sendiri?. insiden penyerangan jemaah ahmadiah adalah salah satunya, dimana adanya pembiaran para perusuh berekspresi dalam gerakan terorisnya, oleh pihak kepolisian, bahkan telah ada informmasi dua hari sebelum penyerangan oleh pihak intelejen, namun tidak dilakukan upaya – upaya prefentif. LOKASI KEJADIAN PENYERANGAN JEMAAH AHMADIAH DIKAMPUNG PEUNDEUY DESA UMBULAN KECAMATAN CIKEUSIK,KABUPATEN PANDEGELANG BANTENG mungkinkah ini adalah bagian dari konflik interest dari elit – elit dinegara ini?. yang lebih parah lagi pernyataan Kapolri Timur Pradopo bahwa konflik yang terjadi adalah dinamika, pernyataan ini luar biasa karena di anggap oleh para elit adalah hal yang biasa. Ketakutan dan kekhawatiran kami pihak kepolisian juga turut main dalam kasus ini.
Kemudian proses pembakaran 3 gedung gereja, yang dilakukan oleh sekelompok orang yang diduga sama. aksi ini dilakukan karena ketidakpuasan masa terhadap putusan pengadilan terkait dengan tersangka penistaan agama. Gereja yang dibakar adalah GPdI (GEREJA PENTAKOSTA di INDONESIA) dan GBI (GEREJA BETHEL INDONESIA) Temanggung akibat penyerangan ini 9 orang luka – luka, dan kerugian harta kekayaan milik Gereja, pengrusakan 1 Gedung GEREJA KATOLIK ST PETRUS dan paulus serta pembakaran sekolah katolik yang juga berdekatan dengan Gereja yang dirusak.
Penutupan Gereja juga terjadi pasca pembakaran dan pengrusakan Gereja di temanggung, yaitu penutupan Gereja di Jakarta Selatan, padahal menurut Pimpin Gereja setempat semua syarat telah dikantongi, antara rekomendasi RT dan RW, serta surat izin mendirikan bangunan IMB. Entah Negara dan kelompok masyarakat lain ini maunya apa…?
Tuntutan kami, Negara harus tegas disini, karena menurut kami ini adalah keksalahan besar, yang perbuatannya terkutuk, dan yang paling hina sebagai makluk yang Mengklaim beragama. atas dasar semuanya itu maka GMKI selaku bagian yang terintegrity dari komuitas bangsa ini menggugat dan menuntut Pemerintah atas kelalain melindungi, warga negaranya sehingga terjadi tragedy, ahmadiah, dan pembakaran gereja serta pengrusakan dan penutpan gereja – gereja yang terjadi selama kurun waktu 2008-2011. ( Baca UUD 1945 pasal 29 )


II. BENTUK KEGIATAN
Berhubungan dengan situasi kehidupan kebangsaan kita yang sementara, tereduksi oleh egosntrisme kelompok tertentu, dan kelambanaan serta ketidak konsistenan pemerintah dalam menyikapi persoalan KONFLIK SARA di Indonesia maka dengan ini, GMKI di tuntut untuk secara Nasional melakukan intrupsi kepada pemerintah dengan melakukan AKSI DAMAI. dalam rangka memberi tuntutan perlindungan serta rasa aman, dan kebebasan memeluk kepercayaan kita masing – masing selaku warga Negara kesatuan republic Indonesia.

III. TEMA AKSI
JADILAH BERHIKMAT! BERJALANLAH PADA JALAN KEBENARAN DITENGAH – TENGAH JALAN KEADILAN.

SUB TEMA
MENDORONG SOLIDARITAS BANGSA UNTUK MEMPERJUANGAKAN KEBENARAN, KEADILAN, DAN KESEJAHTERAAN DALAM MEWUJUDKAN KEMERDEKAAN INDONESIA SECARA BERMARTABAT.

IV. TUNTUTAN
BERDASARKAN APA YANG TELAH DI URAIKAN DIATAS MAKA SEGENAP CIVITAS GERAKAN MAHASISWA KRISTEN INDONESIA YANG ADA DI 75 CABANG DI SELURUH INDONESIA MENUNTUT :
1. PARA PELAKU PEMBAKARAN DAN PENGRUSAKAN GEREJA DI TEMANGGUNG HARUS DI DITANGKAP, DIPERIKSA, DIADILI DAN DIBERIKAN HUKUMUAN SEBERAT BERATNYA!
2. BAHWA OTAK INTELEKTUAL DARI KELOMPOK ANARKIS INI DAPAT DITINDAK DAN DIBERI HUKUMAN SETIMPAL DENGAN PERBUATANNYA
3. MENINDAK TEGAS DAN MEMBUBARKAN ORMAS – ORMAS FUNDAMENTALIS AGAMA YANG TELAH MENGGANGGU KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA.
4. PIHAK KEPOLISIAN YANG MENGETAHUI INFORMASI TAPI TIDAK MELAKUKAN UPAYA PREVENTIF JUGA HARUS DIPERIKSA DAN DITINDAK TEGAS.
5. MENGUTUK DENGAN KERAS PARA PEJABAT YANG SECARA LANGSUNG MAUPUN TIDAK LANGSUNG TERLIBAT DALAM KASUS PERCOBAAN MELAKUKAN KERUSUHAN BERDIMENSI SARA, UNTUK MELAKUKAN PENGALIHAN ISU TERKAIT SEJUMLAH MASALAH NEGARA YANG SEMENTARA DI TEKAN OLEH OKP DAN ORMAS ANTI PEMBOHONG.
6. KAPOLRI TIMUR PRADOPO DENGAN PERNYATAANNYA YANG MENGGANGGAP PERMASALAHAN INI SEBAGAI DINAMIKA BIASA DALAM MASYARAKATMENURUT KAMI SANGATLAH JAUH DARI SIFAT PEMIMPIN YANG BIJAK, SEAKAN PROSES BUNUH-MEMBUNUH, BAKAR – MEMBAKAR, DAN RUSAK – MERUSAK ATAS NAMA AGAMA ADALAH HAL BIASA. OLEHNYA ITU KAMI MEMINTA KAPOLRI DI COPOT DARI JABATANNYA!
7. MEMINTA AGAR SURAT KEPUTUSAN BERSAMA TIGA MENTERI ITU SEGARA DI EVALUASI DAN REVISI.
8. MENCOPOT MENTERI DALAM NEGERI DAN MENTERI AGAMA, KARENA DINILAI GAGAL MELAKUKAN TUGAS DAN TANGGUNG JAWABNYA DALAM MENJAGA KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA BERNEGARA.

V. WAKTU PELAKSANAAN AKSI
Aksi ini akan dilaksanakan oleh seluruh cabang -– cabang GMKI di Indonesia pada : hari selasa tanggal 22 februari 2011 pukul: 10.00 waktu setempat.

VI. PENUTUP

DEMIKIAN MAKSUD INI KAMI SAMPAIKAN DENGAN HARAPAN KITA SEMUA TETAP DIBERIKAN HIKMAT AGAR TETAP BERJALAN PADA JALAN KEBENARAN DAN DITENGAH – TENGAH JALAN KEADILAN. LAKUKANLAH HAL INI SEBAGAI TANDA BAHWA KITA ADA DISINI KARENA DIUTUS. TINGGI IMAN, TINGGI ILMU, TINGGI PENGABDIAN.

UT OMNES UNUM SINT.





PENGURUS PUSAT
GERAKAN MAHASISWA KRISTEN INDONESIA
MASA BAKTI 2010 – 2012





JOHNY RAHMAT JOZTHIN M.E. THELIK
Ketua Umum Sekretaris Umum

Minggu, Mei 29, 2011

siantar




Pemuda Gereja Dalam Tugas Pelayanan


Pemuda Gereja dalam Tugas Pelayanan;
Sebagai Sebuah Perenungan Terhadap Eksistensi Gereja*
Oleh : Laikmen Sipayung**

Pendahuluan
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercatat kata gereja dalam dua arti, pertama ; gedung (rumah) tempat berdoa dan melakukan upacara agama Kristen, dan kedua; badan (organisasi) umat Kristen yang sama kepercayaan , ajaran, dan tata caranya. Menurut Pdt. Jahenos Saragih, M.Th dalam bukunya berjudul “Ini Aku Utuslah Aku” menyebutkan bahwa dalam Perjanjian Baru, gereja disebut “ekklesia” yang berarti; pertama, gereja (jemaat) dari segala tempat dan segala abad, persekutuan segala orang percaya dan sering juga disebut gereja yang tidak kelihatan (Mat 16:18). Kedua, gereja (jemaat) disuatu kota (Kis 5: 11), artinya gereja-gereja setempat dan denominasi-denominasi sebagai penampakan gereja yang Kudus dan Am. Ketiga, gereja (jemaat) yang berkumpul di sebuah rumah (Roma 16: 15). Dari berbagai pendefenisian diatas dapat disimpulkan bahwa gereja dapat dikategorikan dalam tiga hal, yaitu individu (pribadi sebagai orang-orang percaya), lembaga (sebuah komunitas orang-orang percaya), dan gedung/rumah (tempat beribadah).
Berangkat dari pemahaman tentang gereja tersebut diatas, lalu muncul pertanyaan, bagaimana semestinya kehadiran gereja ditengah-tengah bangsa Indonesia? Yohanes Leimena, seorang tokoh Kristen Indonesia yang pada 11 November 2010 lalu dikukuhkan sebagai pahlawan nasional, pernah mengatakan bahwa : “Orang Kristen Indonesia (termasuk pemuda/i) berada dalam 2 (dua) proklamasi kemerdekaan, yaitu proklamasi keselamatan oleh Yesus Kristus dan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam perspektif yang demikian, Johannes Leimena sebenarnya berpandangan bahwa dalam sikap dan komitmen seperti itulah terbentuk performa jati diri dan peran warga (pemuda) Kristen, yang oleh Johannes Leimena disebut sebagai suatu konsepsi tentang : “Kewarganegaraan Indonesia yang bertanggungjawab”.

Peran Gereja
T. B. Simatupang (1986) mengatakan bahwa usaha pembaharuan gereja melalui kerja pembebasan terhadap masalah keadilan, keterbelakangan, kemiskinan adalah didasarkan pada sikap gereja yang “positif, kreatif, kritis, dan realistis”. Positif berarti terbuka terhadap yang baik, kreatif berarti menggantikan lama dan tidak berguna lagi dengan yang baru atau menambahkan yang baru kepada yang sudah ada, kritis artinya melihat segala sesuatu dalam terang Firman Tuhan, dan realistis artinya siuman/sadar akan waktu dan batas-batas kenyataan dan tidak terbawa oleh impian kosong.
Namun ada sebuah fenomena kekinian yang merupakan kecenderungan ciri khas orang Kristen digambarkan dalam sebuah puisi karya Stot (1996) berikut.
Saya kelaparan, dan anda membentuk kelompok diskusi untuk membicarakan kelaparan saya
Saya terpenjara, dan anda menyelinap ke kapel untuk berdoa bagi kebebasan saya
Saya telanjang, dan anda mempertanyakan dalam hati kelayakan penampilan saya
Saya sakit, dan anda berlutut menaikkan syukur kepada Allah atas kesehatan anda
Saya tak mempunyai tempat berteduh, dan anda berkhotbah tentang kasih Allah
Saya kesepian, dan anda meninggalkan saya sendirian untuk berdoa bagi saya
Anda kelihatan begitu suci, begitu dekat kepada Allah, tetapi saya tetap amat lapar, kesepian, dan kedinginan.
Puisi tersebut menggambarkan bahwa kita sering membuat Iman Kristen terpisah dalam kehidupan realistik sehari-hari. Termasuk dalam kehidupan pemuda gereja. Kita mengadakan persekutuan sepanjang hari, dan kelihatan kudus pada hari Minggu di gereja namun tetap perbuatan sehari-hari tidak lepas dari kehidupan yang tidak menunjukkan kehadiran gereja itu sendiri secara pribadi. Dikotomi antara kehidupan sekuler dan religius adalah persoalan orang Kristen yang masih jelas sampai saat ini. Gereja yang ideal merupakan gereja yang tetap eksis dalam melakukan Tri-Tugas gereja yakni koinonia (persekutuan), marturia (kesaksian), diakonia (pelayanan). Tri Tugas gereja ini bukanlah sekedar retorika belaka namun sesuatu yang harus direalisasikan dalam perbuatan. Antara kata dan perbuatan seharusnya berjalan seirama.

Koininia (Bersekutu)
Persentase kehadiran jemaat dalam setiap program kerja persekutuan gereja merupakan gambaran riil bagaimana semangat persekutuan jemaat yang ada, demikian juga pemuda. Jumlah kehadiran jemaat dalam setiap kebaktian minggu ataupun persekutuan-persekutuan lain yang sangat minim merupakan hal yang menjadi pergumulan gereja. Ada dua hal yang memungkinkan sebagai faktor penyebabnya. Pertama; dari pihak pelayan gereja dengan kualitas pelayanan yang kurang mempunyai “roh”, kurang persiapan, liturgi yang monoton dan ketinggalan jaman dan pelayanan pastoral yang tidak optimal. Kedua; dari anggota/jemaat yang kurang mendoakan para pelayan gereja untuk mendapat bimbingan dan penguatan dari Roh Kudus dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanannya, sehingga dapat berjalan maksimal.
Marturuia (Bersaksi)
Kesaksian hidup merupakan gambaran iman keKristenan itu sendiri. Dalam kehidupannya gereja selalu tegar dan penuh pengharapan dalam menghadapi seluruh pergumulannya dan menyatakan bahwa Yesus Juruselamat. Bahkan bila perlu mati demi Kristus pun tidak menjadi masalah, karena darah orang martir adalah benih gereja yang selalu memberikan keberanian bagi pengikutNya dalam tuntunan Roh Kudus. Namun berbahaya apabila orang Kristen rela mati demi agama Kristen, namun tidak rela hidup dalam iman ke Kristenannya. Karena ke Kristenan bukan bicara soal agama, bukan norma suatu agama, melainkan sikap dasar, orientasi dasar, religiositas dasar, bukan agama. Yesus bukanlah orang beragama yang baik, dan karena itu Ia dibenci oleh para Imam, ahli Kitab, dan kaum Farisi (Romo Y. B. Mangunwijaya, 1999).
Diakonia (Melayani)
Gereja tidak hanya bicara soal doktrin, tetapi gereja harus peduli terhadap lingkungannya. Pelayanan bukan saja kepada anggota/jemaatnya, tetapi untuk dunia dan lingkungannya tanpa membedakan Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA). Karena kasih pelayanan yang dipraktekkan Yesus adalah untuk seluruh dunia, seluruh umat manusia dengan jangkauan keselamatan jiwa dan keselamatan fisik sehingga tercipta manusia yang seutuhnya (jasmani dan rohani). Dalam pelayanannya, disamping untuk melayani spiritualitas (semangat hidup), Yesus juga memberi makan 5000 orang, sehingga jemaat mula-mula pun menjadikan harta miliknya menjadi milik bersama, bahkan ada orang yang menjual kepunyaannya dan membagi-bagikannya kapada orang yang membutuhkannya (Kis 2: 43-45). Iman adalah gerakan dan action, maka gereja (lembaga/individu) harus menyingkirkan istilah NATO (Not Action Talk Only) dalam kehidupannya.

Pemuda Gereja Benteng Pertahanan
Kini, terdapat problem krusial yang terjadi dtengah-tengah pelayanan gereja. Gereja diperhadapkan dengan nilai nilai populer yang baru seperti materialisme, hedonisme, dan individualisme, yang dapat mereduksi eksistensi pelayanan gereja, yang dapat membuat gereja semakin tidak solider dan tidak transformative. Hal ini tentunya dapat mengaburkan peran gereja dalam masyarakat sebagai garam dan terang dunia. Pemuda adalah objek yang rentan untuk dimasuki nilai-nilai baru tersebut. Dalam usia muda dan pengalaman hidup yang masih sedikit, pemuda dapat dengan mudah terjebak dalam nilai-nilai baru kehidupan yang menjadi populer ini.
Berbicara tentang kehadiran pemuda/i didalam gereja, tidak terlepas daripada siapa dan bagaimana pemuda itu. Dalam mengartikannya, pemuda Indonesia sering didefenisikan beragam. Defenisi yang satu dengan yang lainnya berbeda satu sama lain, termasuk dalam hal rentang usianya. Persepsi tentang pemuda dapat ditinjau dari berbagai sisi yakni: sosiologi, demografi, antropologi, politik, historis, dan psikologis.
Dalam kehidupan masyarakat agraris, pemuda sering dipandang dalam kedudukan rendah karena terdapat hierarki masyarakat yang menjadikan posisi orang tua menjadi lebih tinggi. Namun demikian, dalam perjalanan sejarah Indonesia, pemuda merupakan katalisator perubahan dan memiliki kemampuan dalam mengintegrasikan diri dengan isu orang dewasa, bahkan menjadi orang dewasa itu sendiri, dan bahkan pemuda mampu memainkan isu-isu orang dewasa dengan lebih unggul dan radikal.
Namun dalam artian pemuda dalam gereja, dapat dimaknai bahwa pemuda adalah gereja itu sendiri sebagai individu yang telah mengalami karya keselamatan dari pengorbanan Yesus kristus di kayu salib. Artinya, kehadiran pemuda gereja dalam kehidupannya merupakan gambaran daripada kehadiran gereja itu sendiri, dengan tugas dan tanggungjawab gereja yang telah melekat secara otomatis didalam dirinya. Maka saya pikir tidak tepat istilah yang menyatakan bahwa pemuda adalah gereja masa depan, namun pemuda adalah gereja masa kini yang memiliki karakteristik semangat muda, menggelora, kreatif, bergairah, namun cenderung labil. Dia memiliki tugas dan tanggungjawab yang sama dengan jemaat lainnya.
Kepemimpinan Pemuda (Gereja) Indonesia
Pemuda gereja merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan daripada pemuda Indonesia. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, tercatat peran strategis yang dimainkan oleh pemuda Indonesia, didalamnya termasuk pemuda gereja. Pertama, pergerakan pemuda 1908, pergerakan pemuda dalam konstruksi kedaerahan/kebudayaan. Kedua, pergerakan pemuda 1920-an, pergerakan pemuda dalam kelompok study hingga melahirkan Sumpah Pemuda. Pergerakan pemuda dengan ide-ide cemerlang yang dapat membangkitkan dinamika politik bangsa hingga benar-benar memampukan mereka menyongsong dan meraih kemerdekaan. Ketiga, pergerakan pemuda 1945, pergerakan pemuda revolusioner dengan mengangkat senjata melawan kolonial bahkan sampai menimbulkan ketegangan-ketegangan dengan golongan tua. Namun ada juga perjuangan bersifat kooperatif seperti perjuangan diplomasi. Keempat, pergerakan pemuda 1966, pergerakan pemuda hingga dekade demokrasi terpimpin terlihat lebih bersifat kooperatif, terlibat dalam politik kekuasaan, namun demikian tetap masih ada pergerakan non kooperatif dalam bentuk demonstrasi-demonstrasi. Kelima, pergerakan pemuda 1998, pergerakan era reformasi hingga transisi demokrasi saat ini yang lahir pada saat akhir-akhir masa kepemimpinan orde baru yang ditandai dengan penggantian Presiden Suharto kepada Presiden B.J. Habibie yang sebelumnya Wakil Presiden. Pergantian era tersebut pada satu sisi dilatarbelakangi oleh krisis pada banyak sektor kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dan pada sisi lain muncullah persoalan-persoalan politik kebangsaan yang lebih kompleks.
Sejarah kepemimpinan Indonesia pun mencatat banyak pemuda yang menduduki posisi-posisi penting. Soekarno menjadi presiden pada usia 44 tahun, sedangkan wakilnya Moh. Hatta saat itu berusia 43 tahun. Bahkan Sutan Syahrir masih berumur 36 tahun ketika diangkat menjadi perdana menteri. T. B. Simatupang bahkan masih sangat belia, 29 tahun saat diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Akan halnya Soeharto, tampil sebagai presiden pada usia 46 tahun. Dan banyak tokoh-tokoh lainnya yang dapat dikategorikan pada usia yang masih muda seperti Muhaimin Iskandar, Anas Urbaningrum, Sandiago Uno, Michael Sampoerna, dan yang lainnya.
Penggalan sejarah kepemudaan Indonesia tersebut merupakan gambaran yang menunjukkan semangat kepemudaan yang juga dimiliki pemuda gereja. Namun kini tampaknya semangat itu memudar. Viktor Silaen (2008) mengatakan masyarakat Indonesia hingga kini masih menghayati nilai budaya senioritas. Dalam arti, umumnya kita sangat menghargai orangtua dan ketuaan. Itu sebabnya kita memandang orang muda yang ingin menjadi pemimpin sebagai “orang yang tidak tau diri”, “anak kemaren sore”, “masih hijau”, dan lain sebagainya.
Bagi kita pemuda gereja yang merindukan perubahan dimasa depan, upaya-upaya apa yang dapat dilakukan dalam rangka mengatasi problematika macetnya regenerasi kepemimpinan kaum muda? Pertama, harus ada keberanian dan prakarsa oleh kaum muda baik didaerah maupun nasional. Kedua, harus menggalang kerjasama dan memperkuat jejaring yang luas dengan kalangan pers, organisasi non-pemerintah, organisasi kepemudaan, dan pihak-pihak lain sebanyak-banyaknya.
Pemuda gereja sangat berharga dimata Tuhan. Dalam 1 Kor 3: 16 dikatakan “engkau adalah bait Allah yang hidup”. Karena itu berikanlah hidup, jiwa, dan ragamu untuk melayani Tuhan. Markus 10: 45 menyatakan bahwa Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Melayani Tuhan dengan talenta, karunia yang telah diberikan kepada kita baik ditengah-tengah keluarga, gereja, masyarakat, dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemujaan kepada Tuhan yang Maha Besar dapat diungkapkan lewat pengangkatan manusia hina ketaraf kemanusiaan yang lebih layak, sebagaimana dirancang Tuhan pada awalnya, tetapi dirusak oleh kelahiran hukum rimba buatan manusia (Romo Y. B. Manunwijaya, 1999)
Dengan demikian dapat kita simpulkan kemungkinan hasil yang kita harapkan terhadap kepemimpinan pemuda (gereja) :
1. Hasil yang didapatkan secara umum adalah terbentuknya kaum muda yang sensibel (peka) serta kritis terhadap situasi dan lingkungan dimana dia hidup
2. Kaum muda yang dibina untuk memiliki mental demikian (1), dapat merubah situasi dan lingkungannya, sehingga tidak menjadi semacam generasi penerus yang meneruskan begitu saja arus kultur yang diwarisi oleh generasi pendahulunya.
3. Selanjutnya kaum muda berani mengkritik lalu membuat transformasi dan menciptakan suatu kultur baru yang lebih relevan dengan waktu dan situasi dimana dia hidup sambil tidak mengabaikan sistem yang telah disepakati
4. Kaum muda diharapkan menyadari potensi dirinya dan mengaktifkan daya cipta yang tersimpan dalam dirinya demi kepentingan orang banyak.
Keyakinan kita, pemuda gereja kuat, mampu, dan bisa apabila dia mau. Songsong masa depan bersama yang lebih indah dengan berkarya. Sejarah telah membuktikan.
Selamat Melayani, Semoga Bermanfaat..!

Tuhan memberikan kekuatan untuk menerima yang tidak bisa kita ubah. Keberanian untuk mengubah yang memungkinkan, dan kebijaksanaan untuk memahami perbedaan keduanya. (Frederich Oetinger)









*Disampaikan pada Seminar KMK Univ. Bengkulu “Benteng Pertahanan dan Peranan Pemuda/i Kristen”.
Bengkulu, 7 Mei 2011
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi Univ. Lampung, Ketua GMKI Cabang Bandar Lampung 2008-2010 dan Koordinator Wilayah II (Sumbagsel) Pengurus Pusat GMKI 2010-2012, juga sebagai Manajer Community Development pada aSSa Community Develepment and Training Center sejak 2010