S T A T I S I K

Selasa, Mei 31, 2011

Problema Kepemimpinan Kaum Muda


Problem Kepemimpinan (Politik) Kaum Muda;
Sebuah Refleksi 81 Tahun Hari Sumpah Pemuda

Oleh : Laikmen Sipayung
Ketua BPC GMKI Bandar Lampung


Dalam mengartikannya, pemuda Indonesia sering didefenisikan beragam. Defenisi yang satu dengan yang lainnya berbeda satu sama lain, termasuk dalam hal rentang usianya. Dalam kehidupan masyarakat agraris, pemuda sering dipandang dalam kedudukan rendah karena terdapat hierarki masyarakat yang menjadikan posisi orang tua menjadi lebih tinggi. Namun demikian, dalam perjalanan sejarah Indonesia, pemuda merupakan katalisator perubahan dan memiliki kemampuan dalam mengintegrasikan diri dengan isu orang dewasa, bahkan menjadi orang dewasa itu sendiri, dan bahkan pemuda mampu memainkan isu-isu orang dewasa dengan lebih unggul dan radikal.

Pemuda merupakan golongan masyarakat yang dekat dengan ide-ide baru, dekat dengan perubahan. Sebagai bagian dari perubahan politik nasional, pemuda Indonesia selalu menggunakan pendekatan-pendekatan kooperatif dan non kooperatif, atau radikal dan moderat, atau diplomasi dan kekuatan senjata/fisik. Pilihan cara atau sikap dalam keterlibatan pemuda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut merupakan cara pemuda mengekspresikan dirinya pada setiap zaman dengan dinamika kesejarahannya.

Tidak dapat dielakkan bahwa dalam setiap pertemuan pemuda atau pertemuan yang membicarakan pemuda, sering disebut momentum kesejarahan yang dimainkan oleh pemuda terkait perubahan, antara lain; Pertama, pergerakan pemuda 1908, pergerakan pemuda dalam konstruksi kedaerahan/kebudayaan. Kedua, pergerakan pemuda 1920-an, pergerakan pemuda dalam kelompok study hingga melahirkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Pergerakan pemuda dengan ide-ide cemerlang yang dapat membangkitkan dinamika politik bangsa hingga benar-benar memampukan mereka menyongsong dan meraih kemerdekaan. Ketiga, pergerakan pemuda 1945, pergerakan pemuda revolusioner dengan mengangkat senjata melawan kolonial bahkan sampai menimbulkan ketegangan-ketegangan dengan golongan tua. Namun ada juga perjuangan bersifat kooperatif seperti perjuangan diplomasi. Keempat, pergerakan pemuda 1966, pergerakan pemuda hingga dekade demokrasi terpimpin terlihat lebih bersifat kooperatif, terlibat dalam politik kekuasaan, namun demikian tetap masih ada pergerakan non kooperatif dalam bentuk demonstrasi-demonstrasi. Kelima, pergerakan pemuda 1998, pergerakan era reformasi hingga transisi demokrasi saat ini yang lahir pada saat akhir-akhir masa kepemimpinan orde baru yang ditandai dengan penggantian presiden Suharto kepada Presiden B.J. Habibie yang sebelumnya Wakil Presiden. Pergantian era tersebut pada satu sisi dilatarbelakangi oleh krisis pada banyak sektor kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dan pada sisi lain muncullah persoalan-persoalan politik kebangsaan yang lebih kompleks.

Pada setiap fase perubahan politik itu, terutama pada fase 1920-an dan 1940-an, pemuda tidak hanya sebagai pelopor, pemikir, serta secara fisik menjadi tentara rakyat dan berada dibarisan depan perjuangan kebangsaan, tetapi juga sebagai pemimpin nasional yang memiliki visi kebangsaan dan selalu menjadi penentu hampir semua keputusan politik pergerakan kebangsaan. Bahkan tidak hanya sampai pada momentum proklamasi pemuda memiliki posisi sentral sebagai pemimpin nasional, pasca proklamasi kemerdekaan, terutama pada masa-masa perundingan dengan pemerintahan Belanda posisi kepemimpinan nasional masih menjadi hal yang biasa bagi pemuda. Artinya, sampai pada masa itu pemuda masih memberikan peran penting bagi kepemimpinan nasional, dan tidak langka atau menjadi sebuah keanehan.

Permasalahannya kini, dan bahkan sudah menjadi masalah lama pemuda dari beberapa generasi terakhir, terutama yang berkaitan dengan kepemimpinan politik nasional adalah mengapa pemuda belum bisa bangkit dari keterpurukan posisi politiknya? Masalahnya bisa dilihat dari konteks internal dan eksternal pemuda. Adapun masalah konteks internal antara lain: satu, pemuda belum bisa secara bersama melakukan advokasi terhadap hak politik pemuda; dua, posisi ekonomi pemuda masih lemah. Padahal lingkungan politik kekuasaan kini telah menjadikan kemampuan ekonomi dan financial sebagai faktor dominan; tiga, kaderisasi politik pemuda oleh organisasi pemuda belum terpola mandiri. Sedangkan masalah konteks eksternal antara lain; satu, peran partai politik dalam melakukan kaderisasi politik cendering blum berkelanjutan dan sistematis; dua, pendidikan formal masih amburadul dan belum mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial yang begitu cepat; tiga, stigma di masyarakat dan negara bahwa pemuda adalah pemimpin masa depan; empat, akibat dari kebijakan politik orde baru seperti normalisasi kehidupan kampus, atau depolitisasi kampus 1978/1979.

Lalu, bagaimana solusinya? Secara umum, solusinya terhadap masalah konteks interen antara lain; kaderisasi politik pemuda oleh organisasi pemuda harus dilakukan secara lebih baik; pemuda harus secara bersama melakukan advokasi terhadap hak politik pemuda; melakukan pemberdayaan ekonomi pemuda. Sedangkan solusi terhadap masalah konteks eksternal, antara lain; peran partai politik dalam melakukan kaderisasi politik harus berkelanjutan dan sistematis; penguatan pada sistem pendidikan nasional; menghapus stigma di masyarakat dan negara bahwa pemuda adalah pemimpin masa depan; kampus harus dibebaskan dari depolitisasi mahasiswa Biarlah kampus dan mahasiswa menjadi dirinya sendiri dengan bertanggungjawab menentukan sikap politiknya secara lebih terbuka. Karena dengan demikian, disitulah terletak keadilan politik; bebas dan terbuka sebagai hak pada satu sisi, dan pada sisi lain tertib dan bertanggungjawab sebagai kewajiban.

Melalui proses refleksi 81 tahun Sumpah Pemuda ini, semoga pemuda Indonesia bangkit dan akan tetap hadir, bersikap, dan terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melahirkan ide-ide baru yang kreatif sebagai catatan sejarah baru yang merupakan solusi untuk persoalan bangsa ini. Semoga...

Tidak ada komentar: