S T A T I S I K

Minggu, Mei 29, 2011

Pemuda Gereja Dalam Tugas Pelayanan


Pemuda Gereja dalam Tugas Pelayanan;
Sebagai Sebuah Perenungan Terhadap Eksistensi Gereja*
Oleh : Laikmen Sipayung**

Pendahuluan
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercatat kata gereja dalam dua arti, pertama ; gedung (rumah) tempat berdoa dan melakukan upacara agama Kristen, dan kedua; badan (organisasi) umat Kristen yang sama kepercayaan , ajaran, dan tata caranya. Menurut Pdt. Jahenos Saragih, M.Th dalam bukunya berjudul “Ini Aku Utuslah Aku” menyebutkan bahwa dalam Perjanjian Baru, gereja disebut “ekklesia” yang berarti; pertama, gereja (jemaat) dari segala tempat dan segala abad, persekutuan segala orang percaya dan sering juga disebut gereja yang tidak kelihatan (Mat 16:18). Kedua, gereja (jemaat) disuatu kota (Kis 5: 11), artinya gereja-gereja setempat dan denominasi-denominasi sebagai penampakan gereja yang Kudus dan Am. Ketiga, gereja (jemaat) yang berkumpul di sebuah rumah (Roma 16: 15). Dari berbagai pendefenisian diatas dapat disimpulkan bahwa gereja dapat dikategorikan dalam tiga hal, yaitu individu (pribadi sebagai orang-orang percaya), lembaga (sebuah komunitas orang-orang percaya), dan gedung/rumah (tempat beribadah).
Berangkat dari pemahaman tentang gereja tersebut diatas, lalu muncul pertanyaan, bagaimana semestinya kehadiran gereja ditengah-tengah bangsa Indonesia? Yohanes Leimena, seorang tokoh Kristen Indonesia yang pada 11 November 2010 lalu dikukuhkan sebagai pahlawan nasional, pernah mengatakan bahwa : “Orang Kristen Indonesia (termasuk pemuda/i) berada dalam 2 (dua) proklamasi kemerdekaan, yaitu proklamasi keselamatan oleh Yesus Kristus dan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam perspektif yang demikian, Johannes Leimena sebenarnya berpandangan bahwa dalam sikap dan komitmen seperti itulah terbentuk performa jati diri dan peran warga (pemuda) Kristen, yang oleh Johannes Leimena disebut sebagai suatu konsepsi tentang : “Kewarganegaraan Indonesia yang bertanggungjawab”.

Peran Gereja
T. B. Simatupang (1986) mengatakan bahwa usaha pembaharuan gereja melalui kerja pembebasan terhadap masalah keadilan, keterbelakangan, kemiskinan adalah didasarkan pada sikap gereja yang “positif, kreatif, kritis, dan realistis”. Positif berarti terbuka terhadap yang baik, kreatif berarti menggantikan lama dan tidak berguna lagi dengan yang baru atau menambahkan yang baru kepada yang sudah ada, kritis artinya melihat segala sesuatu dalam terang Firman Tuhan, dan realistis artinya siuman/sadar akan waktu dan batas-batas kenyataan dan tidak terbawa oleh impian kosong.
Namun ada sebuah fenomena kekinian yang merupakan kecenderungan ciri khas orang Kristen digambarkan dalam sebuah puisi karya Stot (1996) berikut.
Saya kelaparan, dan anda membentuk kelompok diskusi untuk membicarakan kelaparan saya
Saya terpenjara, dan anda menyelinap ke kapel untuk berdoa bagi kebebasan saya
Saya telanjang, dan anda mempertanyakan dalam hati kelayakan penampilan saya
Saya sakit, dan anda berlutut menaikkan syukur kepada Allah atas kesehatan anda
Saya tak mempunyai tempat berteduh, dan anda berkhotbah tentang kasih Allah
Saya kesepian, dan anda meninggalkan saya sendirian untuk berdoa bagi saya
Anda kelihatan begitu suci, begitu dekat kepada Allah, tetapi saya tetap amat lapar, kesepian, dan kedinginan.
Puisi tersebut menggambarkan bahwa kita sering membuat Iman Kristen terpisah dalam kehidupan realistik sehari-hari. Termasuk dalam kehidupan pemuda gereja. Kita mengadakan persekutuan sepanjang hari, dan kelihatan kudus pada hari Minggu di gereja namun tetap perbuatan sehari-hari tidak lepas dari kehidupan yang tidak menunjukkan kehadiran gereja itu sendiri secara pribadi. Dikotomi antara kehidupan sekuler dan religius adalah persoalan orang Kristen yang masih jelas sampai saat ini. Gereja yang ideal merupakan gereja yang tetap eksis dalam melakukan Tri-Tugas gereja yakni koinonia (persekutuan), marturia (kesaksian), diakonia (pelayanan). Tri Tugas gereja ini bukanlah sekedar retorika belaka namun sesuatu yang harus direalisasikan dalam perbuatan. Antara kata dan perbuatan seharusnya berjalan seirama.

Koininia (Bersekutu)
Persentase kehadiran jemaat dalam setiap program kerja persekutuan gereja merupakan gambaran riil bagaimana semangat persekutuan jemaat yang ada, demikian juga pemuda. Jumlah kehadiran jemaat dalam setiap kebaktian minggu ataupun persekutuan-persekutuan lain yang sangat minim merupakan hal yang menjadi pergumulan gereja. Ada dua hal yang memungkinkan sebagai faktor penyebabnya. Pertama; dari pihak pelayan gereja dengan kualitas pelayanan yang kurang mempunyai “roh”, kurang persiapan, liturgi yang monoton dan ketinggalan jaman dan pelayanan pastoral yang tidak optimal. Kedua; dari anggota/jemaat yang kurang mendoakan para pelayan gereja untuk mendapat bimbingan dan penguatan dari Roh Kudus dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanannya, sehingga dapat berjalan maksimal.
Marturuia (Bersaksi)
Kesaksian hidup merupakan gambaran iman keKristenan itu sendiri. Dalam kehidupannya gereja selalu tegar dan penuh pengharapan dalam menghadapi seluruh pergumulannya dan menyatakan bahwa Yesus Juruselamat. Bahkan bila perlu mati demi Kristus pun tidak menjadi masalah, karena darah orang martir adalah benih gereja yang selalu memberikan keberanian bagi pengikutNya dalam tuntunan Roh Kudus. Namun berbahaya apabila orang Kristen rela mati demi agama Kristen, namun tidak rela hidup dalam iman ke Kristenannya. Karena ke Kristenan bukan bicara soal agama, bukan norma suatu agama, melainkan sikap dasar, orientasi dasar, religiositas dasar, bukan agama. Yesus bukanlah orang beragama yang baik, dan karena itu Ia dibenci oleh para Imam, ahli Kitab, dan kaum Farisi (Romo Y. B. Mangunwijaya, 1999).
Diakonia (Melayani)
Gereja tidak hanya bicara soal doktrin, tetapi gereja harus peduli terhadap lingkungannya. Pelayanan bukan saja kepada anggota/jemaatnya, tetapi untuk dunia dan lingkungannya tanpa membedakan Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA). Karena kasih pelayanan yang dipraktekkan Yesus adalah untuk seluruh dunia, seluruh umat manusia dengan jangkauan keselamatan jiwa dan keselamatan fisik sehingga tercipta manusia yang seutuhnya (jasmani dan rohani). Dalam pelayanannya, disamping untuk melayani spiritualitas (semangat hidup), Yesus juga memberi makan 5000 orang, sehingga jemaat mula-mula pun menjadikan harta miliknya menjadi milik bersama, bahkan ada orang yang menjual kepunyaannya dan membagi-bagikannya kapada orang yang membutuhkannya (Kis 2: 43-45). Iman adalah gerakan dan action, maka gereja (lembaga/individu) harus menyingkirkan istilah NATO (Not Action Talk Only) dalam kehidupannya.

Pemuda Gereja Benteng Pertahanan
Kini, terdapat problem krusial yang terjadi dtengah-tengah pelayanan gereja. Gereja diperhadapkan dengan nilai nilai populer yang baru seperti materialisme, hedonisme, dan individualisme, yang dapat mereduksi eksistensi pelayanan gereja, yang dapat membuat gereja semakin tidak solider dan tidak transformative. Hal ini tentunya dapat mengaburkan peran gereja dalam masyarakat sebagai garam dan terang dunia. Pemuda adalah objek yang rentan untuk dimasuki nilai-nilai baru tersebut. Dalam usia muda dan pengalaman hidup yang masih sedikit, pemuda dapat dengan mudah terjebak dalam nilai-nilai baru kehidupan yang menjadi populer ini.
Berbicara tentang kehadiran pemuda/i didalam gereja, tidak terlepas daripada siapa dan bagaimana pemuda itu. Dalam mengartikannya, pemuda Indonesia sering didefenisikan beragam. Defenisi yang satu dengan yang lainnya berbeda satu sama lain, termasuk dalam hal rentang usianya. Persepsi tentang pemuda dapat ditinjau dari berbagai sisi yakni: sosiologi, demografi, antropologi, politik, historis, dan psikologis.
Dalam kehidupan masyarakat agraris, pemuda sering dipandang dalam kedudukan rendah karena terdapat hierarki masyarakat yang menjadikan posisi orang tua menjadi lebih tinggi. Namun demikian, dalam perjalanan sejarah Indonesia, pemuda merupakan katalisator perubahan dan memiliki kemampuan dalam mengintegrasikan diri dengan isu orang dewasa, bahkan menjadi orang dewasa itu sendiri, dan bahkan pemuda mampu memainkan isu-isu orang dewasa dengan lebih unggul dan radikal.
Namun dalam artian pemuda dalam gereja, dapat dimaknai bahwa pemuda adalah gereja itu sendiri sebagai individu yang telah mengalami karya keselamatan dari pengorbanan Yesus kristus di kayu salib. Artinya, kehadiran pemuda gereja dalam kehidupannya merupakan gambaran daripada kehadiran gereja itu sendiri, dengan tugas dan tanggungjawab gereja yang telah melekat secara otomatis didalam dirinya. Maka saya pikir tidak tepat istilah yang menyatakan bahwa pemuda adalah gereja masa depan, namun pemuda adalah gereja masa kini yang memiliki karakteristik semangat muda, menggelora, kreatif, bergairah, namun cenderung labil. Dia memiliki tugas dan tanggungjawab yang sama dengan jemaat lainnya.
Kepemimpinan Pemuda (Gereja) Indonesia
Pemuda gereja merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan daripada pemuda Indonesia. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, tercatat peran strategis yang dimainkan oleh pemuda Indonesia, didalamnya termasuk pemuda gereja. Pertama, pergerakan pemuda 1908, pergerakan pemuda dalam konstruksi kedaerahan/kebudayaan. Kedua, pergerakan pemuda 1920-an, pergerakan pemuda dalam kelompok study hingga melahirkan Sumpah Pemuda. Pergerakan pemuda dengan ide-ide cemerlang yang dapat membangkitkan dinamika politik bangsa hingga benar-benar memampukan mereka menyongsong dan meraih kemerdekaan. Ketiga, pergerakan pemuda 1945, pergerakan pemuda revolusioner dengan mengangkat senjata melawan kolonial bahkan sampai menimbulkan ketegangan-ketegangan dengan golongan tua. Namun ada juga perjuangan bersifat kooperatif seperti perjuangan diplomasi. Keempat, pergerakan pemuda 1966, pergerakan pemuda hingga dekade demokrasi terpimpin terlihat lebih bersifat kooperatif, terlibat dalam politik kekuasaan, namun demikian tetap masih ada pergerakan non kooperatif dalam bentuk demonstrasi-demonstrasi. Kelima, pergerakan pemuda 1998, pergerakan era reformasi hingga transisi demokrasi saat ini yang lahir pada saat akhir-akhir masa kepemimpinan orde baru yang ditandai dengan penggantian Presiden Suharto kepada Presiden B.J. Habibie yang sebelumnya Wakil Presiden. Pergantian era tersebut pada satu sisi dilatarbelakangi oleh krisis pada banyak sektor kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dan pada sisi lain muncullah persoalan-persoalan politik kebangsaan yang lebih kompleks.
Sejarah kepemimpinan Indonesia pun mencatat banyak pemuda yang menduduki posisi-posisi penting. Soekarno menjadi presiden pada usia 44 tahun, sedangkan wakilnya Moh. Hatta saat itu berusia 43 tahun. Bahkan Sutan Syahrir masih berumur 36 tahun ketika diangkat menjadi perdana menteri. T. B. Simatupang bahkan masih sangat belia, 29 tahun saat diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Akan halnya Soeharto, tampil sebagai presiden pada usia 46 tahun. Dan banyak tokoh-tokoh lainnya yang dapat dikategorikan pada usia yang masih muda seperti Muhaimin Iskandar, Anas Urbaningrum, Sandiago Uno, Michael Sampoerna, dan yang lainnya.
Penggalan sejarah kepemudaan Indonesia tersebut merupakan gambaran yang menunjukkan semangat kepemudaan yang juga dimiliki pemuda gereja. Namun kini tampaknya semangat itu memudar. Viktor Silaen (2008) mengatakan masyarakat Indonesia hingga kini masih menghayati nilai budaya senioritas. Dalam arti, umumnya kita sangat menghargai orangtua dan ketuaan. Itu sebabnya kita memandang orang muda yang ingin menjadi pemimpin sebagai “orang yang tidak tau diri”, “anak kemaren sore”, “masih hijau”, dan lain sebagainya.
Bagi kita pemuda gereja yang merindukan perubahan dimasa depan, upaya-upaya apa yang dapat dilakukan dalam rangka mengatasi problematika macetnya regenerasi kepemimpinan kaum muda? Pertama, harus ada keberanian dan prakarsa oleh kaum muda baik didaerah maupun nasional. Kedua, harus menggalang kerjasama dan memperkuat jejaring yang luas dengan kalangan pers, organisasi non-pemerintah, organisasi kepemudaan, dan pihak-pihak lain sebanyak-banyaknya.
Pemuda gereja sangat berharga dimata Tuhan. Dalam 1 Kor 3: 16 dikatakan “engkau adalah bait Allah yang hidup”. Karena itu berikanlah hidup, jiwa, dan ragamu untuk melayani Tuhan. Markus 10: 45 menyatakan bahwa Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Melayani Tuhan dengan talenta, karunia yang telah diberikan kepada kita baik ditengah-tengah keluarga, gereja, masyarakat, dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemujaan kepada Tuhan yang Maha Besar dapat diungkapkan lewat pengangkatan manusia hina ketaraf kemanusiaan yang lebih layak, sebagaimana dirancang Tuhan pada awalnya, tetapi dirusak oleh kelahiran hukum rimba buatan manusia (Romo Y. B. Manunwijaya, 1999)
Dengan demikian dapat kita simpulkan kemungkinan hasil yang kita harapkan terhadap kepemimpinan pemuda (gereja) :
1. Hasil yang didapatkan secara umum adalah terbentuknya kaum muda yang sensibel (peka) serta kritis terhadap situasi dan lingkungan dimana dia hidup
2. Kaum muda yang dibina untuk memiliki mental demikian (1), dapat merubah situasi dan lingkungannya, sehingga tidak menjadi semacam generasi penerus yang meneruskan begitu saja arus kultur yang diwarisi oleh generasi pendahulunya.
3. Selanjutnya kaum muda berani mengkritik lalu membuat transformasi dan menciptakan suatu kultur baru yang lebih relevan dengan waktu dan situasi dimana dia hidup sambil tidak mengabaikan sistem yang telah disepakati
4. Kaum muda diharapkan menyadari potensi dirinya dan mengaktifkan daya cipta yang tersimpan dalam dirinya demi kepentingan orang banyak.
Keyakinan kita, pemuda gereja kuat, mampu, dan bisa apabila dia mau. Songsong masa depan bersama yang lebih indah dengan berkarya. Sejarah telah membuktikan.
Selamat Melayani, Semoga Bermanfaat..!

Tuhan memberikan kekuatan untuk menerima yang tidak bisa kita ubah. Keberanian untuk mengubah yang memungkinkan, dan kebijaksanaan untuk memahami perbedaan keduanya. (Frederich Oetinger)









*Disampaikan pada Seminar KMK Univ. Bengkulu “Benteng Pertahanan dan Peranan Pemuda/i Kristen”.
Bengkulu, 7 Mei 2011
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi Univ. Lampung, Ketua GMKI Cabang Bandar Lampung 2008-2010 dan Koordinator Wilayah II (Sumbagsel) Pengurus Pusat GMKI 2010-2012, juga sebagai Manajer Community Development pada aSSa Community Develepment and Training Center sejak 2010

Tidak ada komentar: