Oleh : Laikmen Sipayung
Akhir-akhir ini
masyarakat dunia dihadapkan pada era globalisasi. Globalisasi adalah suatu kata yang
mungkin paling banyak dibicarakan orang dalam waktu lima tahun terakhir ini,
dengan pemaknaan yang beragam. Namun, apa yang dipahami sebagai istilah
globalisasi akhirnya membawa kesadaran bagi semua penghuni planet ini saling
terkait dan tidak bisa dipisahkan begitu saja satu sama lain walau ada rentang
jarak yang secara fisik membentang. Dunia dipandang sebagai satu kesatuan
dimana semua manusia di muka bumi ini terhubung satu sama lain.
Globalisasi telah menjadi satu
fenomena yang luar biasa. Seandainya mulus berjalan maka seluruh penduduk
planet kita akan hidup lebih baik dan lebih sejahtera. Tetapi dalam
perjalanannya, ternyata
tidak demikian adanya, jurang
kemiskinanpun makin menganga. Globalisasi yang kita percaya sebagai proses
perubahan budaya, tanpa kita sadari, telah merasuki kehidupan kita sehari-hari.
Khususnya bagi Indonesia, yang dilanda krisis sejak tahun 1997, para pemimpin
bangsa belum dapat membawa bangsa ini keluar dari schock yang disebabkan krisis tersebut. Disisi lain etos kerja dan
produktivitas nasional makin menurun. Kendala ini terus menjadi hambatan kita
untuk segera keluar dari keterpurukan.
Dinamika kehidupan global memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Globalisasi
hadir dalam semangat liberalisme dan kapitalisme dimana kebebasan menjadi icon dan penguasaan pasar oleh
instrumen-instrumen neoliberal yakni lembaga-lembaga internasional yang di
dominasi oleh negara-negara dunia pertama. Tragisnya, negara-negara dunia
ketiga menjadi sasaran empuk dari pertarungan berbagai kepentingan pasar dan
politik global yang dimainkan oleh aktor-aktor neoliberalisme.
Melihat Fenomena Regionalisme
Pergeseran sistem ekonomi internasional pasca-Perang Dingin
menimbulkan dampak besar bagi dinamika hubungan perdagangan antar negara. Amerika Serikat pun menjadi satu-satunya negara superpower
dengan ideologi kebebasan di segala bidang. Sistem ekonomi internasional
lantas bergeser ke arah neoliberalisme dengan menempatkan pasar bebas sebagai
aktivitas utamanya. Akibatnya,
negara-negara dituntut untuk mampu mengakomodasi sistem tersebut dengan mengintegrasikan ekonomi nasionalnya
menuju keterbukaan tata perekonomian dunia baru yang berdasarkan liberalisasi
ekonomi. Hal ini juga diikuti dengan munculnya berbagai perjanjian
internasional di bidang liberalisasi perdagangan melalui sistem perdagangan
bebas (free trade). Pada saat memasuki fase ini, setiap negara harus
menjalankan perekonomiannya berdasarkan mekanisme pasar. Karena itu,
bentuk-bentuk intervensi negara diminimalisir, seperti pemberian subsidi,
kuota, lisensi, monopoli, dan tata niaga
Sebagai respon atas perkembangan tersebut, munculnya
semangat regionalisme di antara negara-negara dalam satu kawasan. Beberapa
kerja sama ekonomi regional yang telah terbentuk antara lain Europe Union (EU), North American Free Trade
Agreement (NAFTA), Southern Common Market (MERCOSUR), Common Market for Eastern
and Southern Africa (COMESA), Asia Pasific Economic Cooperation (APEC), dan terahir saat ini negara-negara ASEAN sedang bersiap
menuju ASEAN Community 2015.
Indonesia sebagai salah satu aktor penting yang berperan
dalam dinamika regional Asia dan ASEAN seperti dalam hal pemberlakuan AFTA dan menuju ASEAN
Community 2015, memiliki
hal-hal yang penting untuk dibahas. Sebagai salah satu negara ASEAN yang
memiliki pasar yang luas, tentu Indonesia menempati posisi strategis bagi para
produsen. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang masih dalam tahapan
negara berkembang menjadikannya sebagai negara yang perlu mendapat perhatian.
Pasalnya, sejak terkena krisis ekonomi tahun 1997, perekonomian Indonesia belum
mengalami perbaikan signifikan. Publikasi tahunan statistik Indonesia
memberikan bukti empiris bahwa sejak resesi ekonomi, semua pendapatan agregat
dan per orang belum mengalami
pertumbuhan yang menggembirakan.
Di samping itu, Indonesia juga masih mengandalkan resource
abundant dan ketergantungan pada sumber daya alam. Juga pada sektor
industri, Indonesia masih sangat tergantung pada labour intensive. Hal
ini belum dipandang dari segi lainnya seperti kualitas sumber daya manusia yang
kurang memadai dan ketersediaan infrastruktur yang belum merata di seluruh
wilayah negeri ini. Ditambah lagi ternyata perkembangan pangsa ekspor Indonesia
ke ASEAN dibandingkan dengan total ekspor tidak menunjukkan perkembangan
berarti, yaitu dari 13,6 persen pada awal pembentukan AFTA 1993 menjadi 18,2
persen pada 2004 dengan rata-rata peningkatan 9,9 persen. Pada perkembangan
investasi ke kawasan ASEAN pun Indonesia masih mengalami arus negatif.
Regionalisme telah
berkembang dari kerjasama antar negara untuk meningkatkan persahabatan sebagai
tetangga, telah berkembang menjadi satu pakta perdagangan dan ekonomi, sedang
globalisasi perdagangan yang dimotori negara-negara maju dimulai dari sektor
perdagangan dan kemudian memasuki sector-sektor lainnya. Globalisasi terus bergulir dan
regionalisme pun makin menguat. Kesenjangan yang dimunculkan oleh hegemoni
negara maju memicu lahirnya gerakan nasionalisme baru (regionalisme). Orientasi
regionalpun makin meningkat.
Ditengah kondisi globalisasi yang semakin tak terbendung ini, terbukti dengan hadirnya blok-blok
regionalisasi, yang paling dekat adalah Masyarakat ASEAN 2015, dan komunitas
lain yang juga akan menyusul.
Ditambah dengan konstelasi masayarakat Asia Pasiific yang semakin membuka diri
dalam berhubungan satu sama lain, yang tertuang dalam kesepakatan APEC 2013 di
Bali baru-baru ini. Sebagai negara
dengan jumlah penduduk nomor empat didunia, bagaimana Indonesia menghadapinya? Masalah utama yang kita hadapi
adalah hilangnya rasa saling percaya atau trust,
baik horizontal maupun vertikal, sehingga meninggalkan hanya sebagian kecil energi kita untuk
menyelesaikan pokok masalah bangsa, yaitu mensejahterakan masyarakat. Menjawab
hal ini kondisi masyarakat Indonesia seakan belum siap. Kemampuan bersaing
secara mandiri (tanpa sokongan pemerintah) juga masih sebatas harapan. Sehingga
penguatan kapasitas masyarakat menjadi hal yang tidak terelakkan, jika kita
masih ingin jadi “pemangsa”, bukan “mangsa” dalam dinamika dunia yang terus
mereduksi batas-batas negara. Pada
akhirnya basis kekuatan ekonomi
rakyat merupakan hal yang
menjadi perhatian utama untuk diperkuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar